C. Post-Journalism
Perkembangan jurnalisme kontemporer sangat mengerikan karena jurnalisme berubah terus. Jurnalisme ditantang oleh teknologi komunikasi yang lebih baru yang menyebabkan jurnalisme harus menyesuaikan dirinya. Namun patokan-patokan membuat kebenaran harus terus disampaikan. Kebenaran harus disampaikan. Karena kalua komitmen jurnalisme terhadap fakta pudar, berarti jurnalisme mati.
Realitas jurnalisme ketika kampanye Pilpres 2014 yang menjadi objek penelitian menunjukkan bahwa ragam terhadap fakta sudah menjadi sesuatu yang biasa. Perbedaan sudut pandang terhadap realitas, pengambilan sudut berita yang berlainan dan perbedaan pemahaman terhadap kode etik jurnalistik menjadi sesuatu yang lumrah. Beragam berita terhadap satu realitas atau peristiwa yang sama tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang tabu.
Dalam konteks hubungan media dengan jurnalistik politik realitas, kepentingan public sangat sulit dipisahkan kepentingan partai politik atau kandidat ketika dibungkus oleh media televisi, khususnya. Bagaimana seseorang harus menyampaikan bahwa tidak berpihak, sementara dia mengatakan berpihak. Nama lain dari post-jurnalism memiliki nama lain, yaitu post-truth.
Femonena dari post-truth itu sendiri sangat menggila di media sosial. Twitter misalnya, adalah media sosial paling mudah menyampaikan keriuhan yang menjadi ciri khas post-truth ini.
Dalam post-journalism, jurnalisme terjebak dalam kontestasi dengan media social, khususnya dalam proses penyebaran informasi. Padahal ranah kedua bidang itu berbeda, demikian kecepatan adalah wilayah media social bukan wilayah jurnalisme. Namun tekanan ekonomi-bisnis dan politik-kekuasaan sering memerangkap jurnalisme dalam kompetisi tersebut.
Komentar
Posting Komentar